banner image
Sedang Dalam Perbaikan

BAIQ NURIL DINYATAKAN BERSALAH


Baiq Nuril Maknun (Ibu Nuril) berjabat tangan dengan kerabatnya saat menunggu sidang di ruang tahanan Pengadilan Negeri Mataram, NTB, Rabu (10/5/2017).
Lepas dari Pengadilan Negeri Mataram dalam kasus UU ITE, Baiq Nuril Maknun (40) justru dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Kasasi pada 26 September 2018. Kasasi yang diajukan jaksa, dikabulkan majelis hakim agung.

Pada Juli 2017, Pengadilan Negeri Mataram membebaskan Baiq Nuril Maknun yang didakwa melakukan perbuatan pelanggaran kesusilaan sesuai Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

"Baiq Nuril Maknun tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum," sebut Ketua Majelis Hakim kala itu, Albertus Usada, Rabu (26/7/2017).

Jaksa Penuntut Umum yang tak puas, mengajukan kasasi. Petikan Putusan Kasasi dengan Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang baru diterima 9 November 2018 lalu, mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Mataram.

Kasasi Baiq Nuril tersebut diketuai majelis hakim agung Sri Murwahyuni, dengan anggota majelis hakim agung Maruap Dohmatiga Pasaribu, dan Eddy Army. Putusan Mahkamah Agung itu telah diketok pada 26 September 2018 silam.

Ibu Nuril dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

Majelis kasasi menganggap perbuatan Baiq Nuril merekam percakapan mesum atasannya melanggar UU ITE. Putusan kasasi ini pun membatalkan putusan PN Mataram nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr tanggal 26 Juli 2017 yang membebaskan Nuril.

Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan pidana denda sejumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Kepada RRI, Sabtu (10/11/2018), juru bicara PN Mataram, Didiek Jatmiko, mengkonfirmasi putusan MA sudah diterima PN Mataram. Sedangkan Kajari Mataram, Dr I Ketut Sumedana menyatakan belum menerima laporan dari JPU yang menangani.

‘’Saya belum menerima laporan dari jaksanya. Kalau sudah inkrah sudah pasti akan dieksekusi,’’ ungkap Sumedana.

Sementara, salah satu penasehat hukum Baiq Nuril, Hendro Purbo, mengaku belum bisa memberikan komentar lebih jauh, Karena harus koordinasi dengan tim lainnya.

“Kami belum dapat salinan putusan. Nanti kalau sudah tentu kita tentukan apa yang menjadi pertimbangan,’’ katanya seperti dikutip RRI.co.id.
Rekomendasi ICJR atas kasus Nuril
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyesalkan dan mempertanyakan putusan kasasi tersebut. Sedari awal ICJR melakukan pemantauan atas kasus ini, bahkan mengirimkan amicus curiae kepada PN Mataram. Berdasarkan hasil analisis tersebut, ICJR yakin bahwa Baiq Nuril tidak dapat dijatuhi hukuman pidana.

Menurut ICJR, unsur Pasal 27 ayat (1) UU ITE harus dikaitkan dengan pasal kesusilaan dalam KUHP. Perbuatan yang dilarang dalam pasal itu adalah penyebaran konten bermuatan pelanggaran asusila yang diniatkan untuk menyebarkannya di muka umum.

Adapun kasus Baiq Nuril--berdasarkan fakta persidangan--tidak pernah menyebarkan konten pelanggaran asusila tersebut. Pihak lain yang justru menyebarkan rekaman percakapan antara M dan Baiq Nuril itu.

Kemudian, berdasarkan penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU ITE, pasal itu didesain untuk penyebaran dalam sistem elektronik. Syarat mutlak itu tidak terbukti karena dalam fakta persidangan Baiq Nuril pun tidak pernah mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya konten tersebut dalam sebuah sistem elektronik.

"Terkait perbuatan yang dilakukan oleh Baiq Nuril yaitu merekam percakapannya dengan M, adalah bagian dari upaya pembelaan diri dan merupakan tindakan peringatan kepada orang orang lain, agar tidak menjadi korban M seperti dirinya," jelas Anggara Suwahju, Direktur Eksekutif ICJR, lewat keterangan tertulisnya.

Tindakan membela diri dan memberi peringatan tersebut, menurut Anggara, merupakan perbuatan yang tidak dapat dipidana berdasarkan Putusan MA No. 22/PK/Pid.Sus/2011 dan putusan MA No. 300K/Pdt/2010, dalam kasus Prita Mulyasari.

Atas kasus ini, ICJR pun menyampaikan tiga rekomendasi. Pertama, ICJR mengingatkan jajaran hakim MA untuk melakukan evaluasi terkait implementasi UU ITE, karena hal ini berdampak pada pelanggaran Hak Asasi Manusia. Tidak hanya MA, Jaksa dan Polisi juga sepertinya harus benar-benar melakukan evaluasi terkait penggunaan UU ITE ini.

Kedua, ICJR juga mengingatkan kembali bahwa dalam lingkup peradilan, Hakim MA juga terikat Perma No. 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan yang berhadapan dengan Hukum, dalam konteks perempuan yang didakwa melakukan tindak pidana. 

Lewat Pasal 3 Perma tersebut hakim wajib mengindentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum--kondisi yang dialami Baiq Nuril dalam kasusnya, ia merupakan korban kekerasan seksual. Harusnya semua hakim menerapkan Perma ini untuk menjamin perlindungan korban kekerasan yang rentan perlakuan kriminalisasi. 

Ketiga, ICJR kembali meminta Pemerintah untuk segera kembali melakukan revisi terhadap UU ITE, khususnya yang berhubungan dengan kebijakan pidana yang banyak menyimpang, termasuk kesesuaian pasal-pasal dalam UU ITE dengan delik pidana yang diduplikasi dari KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Kilas balik kasus Baiq Nuril
Baiq Nuril merupakan mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat. Ketika masih bertugas di SMAN tersebut, Baiq Nuril yang kerap disapa Ibu Nuril, sering mengalami pelecehan dari M yang merupakan Kepala Sekolah SMA tersebut.

Pada 2012, Nuril ditelepon M yang menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya. Merasa tidak nyaman dengan hal tersebut dan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat hubungan gelap seperti yang dibicarakan orang sekitarnya, Baiq Nuril pun merekam pembicaraan tersebut.

Namun, bukan atas kehendaknya, rekaman tersebut menyebar sehingga M melaporkannya dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Selama proses persidangan, Nuril sempat ditahan sejak 27 Maret 2017 hingga 24 Juli 2017, dan dilanjutkan dengan tahanan kota hingga 23 Agustus 2017.

Kronologi ringkas kasus ini bermula pada Desember 2014, saat ponsel milik Nuril dipinjam seorang kawannya, Lalu Agus Rofik (saksi). Peminjaman terjadi di halaman kantor Dinas Kebersihan Kota Mataram. Selang beberapa jam, di tempat yang sama, datang Imam Mudawin (saksi).

Dari pertemuan dan peminjaman ponsel itulah rekaman percakapan Nuril dan Muslim bocor. Menurut jaksa, Nuril juga menyalin fail rekaman percakapan dari ponselnya ke laptop milik Iman. Bocornya rekaman itu berbuntut mutasi M dari SMAN 7 Mataram.

Dalam putusan PN Mataram, Baiq Nuril dinyatakan sebagai korban pelecehan seksual dari atasannya dan perbuatannya merekam perlakuan M bukan merupakan tindak pidana. Atas putusan tersebut Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi, dan putusan kasasi malah menyatakan sebaliknya.

"UU ITE kembali memakan korban. Hal ini mengakibatkan buruknya implementasi penggunaan pasal pasal pidana dalam UU ITE oleh aparat penegak hukum dan Hakim. Fakta bahwa terdakwa adalah korban kekerasan seksual juga tidak dipertimbangkan oleh hakim dan jaksa," tulis Anggara menanggapi hasil kasasi MA.
Korban pelecehan seksual, Baiq Nuril dinyatakan bersalah dalam kasasi
BAIQ NURIL DINYATAKAN BERSALAH BAIQ NURIL DINYATAKAN BERSALAH Reviewed by MCH on November 12, 2018 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.